Restoran unik bernama Red Feather Lounge
and Bittercreek Ale House.kota Boise, Idaho, Amerika Serikat, Jika masuk ke dalamnya, pengunjung akan
segera disambut suasana tradisional dan tua yang terkesan hirup-pikuk.
Ada sejumlah sepeda yang bergantung di atas. Juga sederetan lampu dengan
kap merah. Namun tak banyak, atau bahkan tak ada, pengunjung yang
tertarik apa yang ada di bawah restauran itu.
Nah, baru-baru ini sang pemilik, Dave Krick, buka rahasia. Di bawah
restorannya ternyata ia memelihara ribuan cacing. Menjijikkan? Mungkin.
Tapi cacing yang ia pelihara bukanlah salah satu bahan menu di sana.
Mereka adalah "pekerja tambahan" yang membuat restoran ini bisa
mendukung program "eco-restaurant"-nya, alias restoran yang peduli pada
penyelamatan lingkungan.
Setiap hari, kata Dave, restorannya dikunjungi ratusan orang. Rata-rata
ia melayani 200.000-an porsi sehari. Memang makanan yang disajikannya
habis disantap para tamunya. Tetapi itu tak menghindarkan banyaknya
sampah makanan yang harus dibuang. Rata-rata setiap harinya ada sekitar
100 kg sampah makanan.
Pusing dengan kegiatan rutin membuang sampah makanan, Dave kemudian
menemukan solusinya, yaitu mendaur ulang sampah makanan dengan
"mempekerjakan" cacing-cacing itu. Jadi, setiap selesai tutup restoran,
ia memasukkan sampah makanan ke dalam wadah raksasa yang ia tanam di
bawah basement restorannya. Setelah ditaburkan tanah, cacing dimasukkan
ke sana.
Cacing mengolah sampah makanan itu menjadi pupuk organik. Lalu, Dave
menjual pupuk tersebut pada petani yang memasok bahan-bahan makanan
untuk restorannya. Dengan cacing-cacing itu maka lengkaplah siklus
jaringan "eco-restaurant" atau "green restaurant" yang dibangunnya.
Green Restaurant Sejak Lama
Menurut, Dave, proses pengolahan sampah organik dengan menggunakan
cacing itu (dikenal dengan nama vermiculture), memang bukan mencari uang
tambahan. Karena dibanding dengan alat yang digunakannya harga pupuk
organik tak seberapa. Untuk membangun instalasi vermiculture itu saja ia
harus mengeluarkan investasi sekitar 12.000 dolar AS (sekitar Rp 110
jutaan). Dan di Amerika Serikat, hanya ada dua restoran yang
memanfaatkan vermiculture ini.
Namun demi masa depan dunia Dave rela mengeluarkan investasi tambahan.
Ia memang amat peduli pada lingkungan dan konsep "green company".
Kini, restoran "Red Feather Lounge and Bittercreek Ale House" merupakan
salah satu restoran terkenal yang menjalankan konsep "eco-restaurant".
Anda terinspirasi?
Tempat Sampah Budidaya Cacing
Senin, 11 Agustus 2014
Senin, 21 Juli 2014
Solusi Sampah
Solusi DKI
Pemprov DKI Jakarta menempuh berbagai
cara untuk mengatasi masalah sampah. Salah satunya menyerahkan
penanganan sampah di pasar tradisional per 1 April kepada PD Pasar Jaya.
Namun, Direktur Utama PD Pasar Jaya Djangga Lubis mengatakan,
pengelolaan itu belum dapat dilaksanakan secara mandiri. PD Pasar Jaya
masih butuh bantuan dinas kebersihan karena belum punya truk pengangkut
sampah di 153 pasar.
Menurut Wakil Kepala Dinas Kebersihan DKI Isnawa Adji, pembagian zona komersial itu akan disahkan melalui keputusan gubernur. ”Harapan kami ada keadilan karena pemerintah tidak lagi menangani sampah di area komersial, tetapi fokus di permukiman warga,” katanya.
Sementara itu, pengolahan sampah di dalam kota terus dikerjakan. Di TPST Rawasari, Jakarta Pusat, pengolahan sampah tetap berjalan meski dana dari Pemprov DKI Jakarta belum turun. Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association (InSWA) Sri Bebassari mengatakan, pengolahan sampah organik menjadi kompos dilakukan dengan dana penelitian dari InSWA. Hal itu karena dana dari Pemprov DKI Jakarta belum cair.
Mengubah pola pikir Terkait dengan masalah sampah, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mendorong agar pemerintah tidak bergantung pada solusi teknis. Penyediaan truk dan perbaikan tempat pembuangan akhir belum cukup untuk mengurangi produksi sampah.
Pola pikir pemerintah, masyarakat, dan pengusaha juga perlu diubah. ”Menyelesaikan persoalan sampah bukan hanya melalui solusi teknis. Pemerintah dan masyarakat juga perlu mengubah pola pikir mereka. Persoalan sampah harus diselesaikan di sumbernya. Dengan begitu, tidak akan ada lagi persoalan sampah menumpuk,” kata Nirwono.
Masyarakat bisa mulai dengan memilah sampah organik dan non-organik di lingkungan rumah masing-masing. Sampah organik dikelola menjadi kompos, sedangkan sampah non-organik didaur ulang menjadi batako atau produk-produk lain yang bermanfaat. Gerakan seperti ini seharusnya didorong pemerintah.
Menurut Wakil Kepala Dinas Kebersihan DKI Isnawa Adji, pembagian zona komersial itu akan disahkan melalui keputusan gubernur. ”Harapan kami ada keadilan karena pemerintah tidak lagi menangani sampah di area komersial, tetapi fokus di permukiman warga,” katanya.
Sementara itu, pengolahan sampah di dalam kota terus dikerjakan. Di TPST Rawasari, Jakarta Pusat, pengolahan sampah tetap berjalan meski dana dari Pemprov DKI Jakarta belum turun. Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association (InSWA) Sri Bebassari mengatakan, pengolahan sampah organik menjadi kompos dilakukan dengan dana penelitian dari InSWA. Hal itu karena dana dari Pemprov DKI Jakarta belum cair.
Mengubah pola pikir Terkait dengan masalah sampah, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mendorong agar pemerintah tidak bergantung pada solusi teknis. Penyediaan truk dan perbaikan tempat pembuangan akhir belum cukup untuk mengurangi produksi sampah.
Pola pikir pemerintah, masyarakat, dan pengusaha juga perlu diubah. ”Menyelesaikan persoalan sampah bukan hanya melalui solusi teknis. Pemerintah dan masyarakat juga perlu mengubah pola pikir mereka. Persoalan sampah harus diselesaikan di sumbernya. Dengan begitu, tidak akan ada lagi persoalan sampah menumpuk,” kata Nirwono.
Masyarakat bisa mulai dengan memilah sampah organik dan non-organik di lingkungan rumah masing-masing. Sampah organik dikelola menjadi kompos, sedangkan sampah non-organik didaur ulang menjadi batako atau produk-produk lain yang bermanfaat. Gerakan seperti ini seharusnya didorong pemerintah.
Kamis, 17 Juli 2014
Tong Sampah Jadi Tong Rezeki
Ketika kita menyebut tong sampah yang ada dibenak kita adalah hal-hal yang sudah tidak berguna dan tidak ada artinya. Berapa banyak yang kita hasilkan
Langganan:
Postingan (Atom)